Minggu, 08 April 2012

GANGGUAN MENTAL


Tugas          : Keperawatan Gerontiuk                       


GANGGUAN MENTAL



 



OLEH : LA ODE ASFILAYLI, A.







PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
 NANI HASANUDDIN
MAKASSAR
2008

KATA PENGANTAR

Assalamu Alaikum Wr.Wb
            Alhamdulillah dengan segala rahmat dan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas karunia, hidayah, reski dan kesempatan yang diberikan Kepada kami sehingga tugas membuat makalah ini terselesaikan.  Makalah dengan tema GANGGUAN MENTAL PADA LANSIA yang berjudul DEPRESI mrupakan tugas dari Dosen mata kuliah”KEPERAWATAN GERONTIK”sebagai tugas kelompok yang di berikan oleh BAPAK SUKMA SAINI, S. Kep, Ners . Makalah yang penulis buat ini tidak lepas dari bantuan yang sangat mempengaruhi tersusunnya makalah ini,maka dari itu melalui kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya Kepada    :
1.      SUKMA SAINI, S. Kep, Ners Atas segala bimbingan dan arahan serta memberikan wawasan yang lebih luas bagi kami tentunya dengan keberadaan tugas ini, kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
2.                  Kepada warnet atas infonya…
3.      Kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
TERIMAKASIH  Penulis  berharap  semoga segala  bantuan  yang diberikan  mendapat   berkah dari Allah SWT.
Penulis menyadari  sepenuhnya bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Sehubungan dengan itu penulis tetap membuka diri untuk menerima masukan dan kritikan yang bersifat membangun dari berbagai pihak guna Penyempurnaan tugas ini. Semoga makalah ini berguna untuk kita semua. Amien
                                                                           
  Makassar, 25April 2008
                                                                                                 
      Penulis     
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat, apakah pengaruh idiologi, politik, social, budaya, maupun hankam, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku individu maupun kelompok masyarakat. Saat ini pengaruh modernisasi, globalisasi, industrilisasi dan kemajuan ilmu dan teknologi mengakibatkan perubahan social yang cepat (rapid social change) sehingga kehidupan di masyarakat semakin kompleks dan rumit. Kompleksitas dan kerumitan kehidupan mengakibatkan proses adaptasi menjadi semakin sulit.
Selain penyakit fisik, ternyata para lansia juga mudah terkena depresi. Hampir 30% pasien lansia menderita depresi. Timbulnya depresi, selain karena penyakit yang diderita lansia juga diakibatkan post power syndrom. ''Post power sydrom ini dikarenakan para lansia merasa tidak mampu menghidupi diri atau memenuhi kebutuhannya sendiri seperti dulu lagi. Misalnya dulunya ia punya uang, sekarang karena sudah pensiun, pendapatannya menjadi berkurang, kehilangan silaturahmi dengan kleuarga juga memicu depresi pada lansia.
Lanjut usia sebagai tahap akhir dari siklus kehidupan manusia, sering diwarnai dengan kondisi hidup yang tidak sesuai dengan harapan. Banyak faktor yang menyebabkan seorang lansia megalami gangguan mental seperti depresi. oleh karena itu seorang pekerja sosial terutama yang bekerja pada setting pelayanan lansia baik itu berbasisi panti maupun berbasi komunitas.
Depresi dan Lanjut Usia Lanjut Usia sebagai tahap akhir siklus perkembangan manusia. Masa dimana semua orang berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang. Pada kenyataanya tidak semua lanjut usia mendapatkan hal yang sama untuk mengecap kondisi hidup idaman ini. Berbagai persoalan hidup yang mendera lanjut usia sepanjang hayatnya, seperti: kemiskinan, kegagalan yang beruntun, stress yang berkepanjangan, ataupun konflik dengan keluarga atau anak, atau kondisi lain seperti tidak memiliki keturunan yang bisa merawatnya dan lain sebagainya. Kondisi-kondisi hidup seperti ini dapat memicu terjadinya depresi. Tidak adanya media bagi lanjut usia untuk mencurahkan segala perasaan dan kegundahannya merupakan kondisi yang akan mempertahankan depresinya, karena dia akan terus menekan segala bentuk perasaan negatifnya kealam bawah sadar.
Cita-cita seseorang untuk dapat hidup bersama dan mendapatkan perawatan dari keluarga terutama anak/cucu pada saat lanjut usia bukanlah sebuah jaminan, sebab ada beberapa faktor, sehingga lanjut usia tidak mendapatkan perawatan dari keluarga, seperti: tidak memiliki keturunan, punya keturunan tapi telah lebih duluan meninggal, anak tidak mau direpotkan untuk mengurus orang tua, anak terlalu sibuk dan sebagainya. Maka panti merupakan salah satu alternatif kepada lanjut usia untuk mendapatkan perawatan dan pelayanan secara memadai, akan tetapi hal ini tidak seratus persen akan diterima oleh lanjut usia secara lapang, hidup di panti bukan merupakan pilihan terbaik, bahkan sebaliknya menjadi pilihan pahit yang kadang menyedihkan. Dalam konteks ke-Indonesian pada umumnya lanjut usia seringkali menghayati penempatan mereka di panti sebagai bentuk pengasingan dan pemisahan dari perasaan kehangatan yang terdapat dalam keluarga, apalagi lansia yang masih punya anak dengan kondisi hidup berkecukupan. Nilai-nilai seperti anak harus berbakti pada kedua orang tua yang masih kuat mengakar pada masyarakat, menjadi beban tersendiri bagi lanjut usia untuk melepaskan ketergantungan (baca: hidup bersama anak) dari anak-anaknya. perasaan-perasaan negatif akan muncul dalam benak lansia, perasaan kecewa, tidak dihargai, sedih, dendam, marah dan sebagainya. sikap bersabar dan mencoba menerima kondisi hidup apa adanya merupakan obat penawar yang cukup efektif untuk jangka pendek, akan tetapi sikap sabar tidak dengan sendirinya atau secara otomatis akan menghilangkan perasaan-perasaan tersebut, sikap sabar tidak lain merupakan mekanisme pertahanan ego yang dinamakan Represi. pada saat-saat tertentu perasaan-perasaan tersebut akan muncul dan menimbulkan depresi.
Gangguan depresi juga sebenarnya tidak hanya menyangkut gejala perasaan saja, namun pada sebagian besar pasien juga mengakibatkan keluhan fisik. Sayangnya, sebagian besar masyarakat masih mengganggap depresi sebagai rasa sedih yang berlebihan dan belum dianggap sebagai penyakit, apalagi gangguan jiwa.
Bahkan, pada orang usia lanjut, depresi yang dialami justru seringkali disebabkan karena penyakit fisik, penuaan dan kurangnya perhatian dari pihak keluarga. Demikian menurut Prof.dr.Syamsir Bongsoe, Sp.KJ (K) dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Psikiatri pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, seperti dikutip Antara.
Menurutnya, ada sekitar 1-4 persen populasi usia lanjut yang mengalami depresi mayor (terjadi sekitar satu tahun) dan 4-13 persen mengalami depresi minor (lebih dari dua tahun). Syamsir lalu menjelaskan gangguan pada otak (penyakit cerebrovaskular) sebagai salah satu penyebab timbulnya gangguan depresi. Selain itu, bisa juga karena faktor psikologis, berupa penyimpangan perilaku oleh karena cukup banyak lansia yang mengalami peristiwa kehidupan yang tidak menyenangkan atau cukup berat.
Depresi pun berhubungan dengan serotonin dan norepinephrine, yang sering menimbulkan keluhan tidur terganggu, nafsu makan berkurang, lelah, sulit berkonsentrasi, dan sebagainya. Pasien depresi juga mendapat keluhan fisik seperti sakit kepala, nyeri punggung, gangguan perut dan pencernaan, keluhan seksual dan nafas pendek. 

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas maka masalah yang akan dikaji adalah  gangguan mental pada lansia, khususnya  depresi.


C.  Tujuan
1.       Mengetahui bagaimana proses terjadinya gangguan mental pada lansia khususnya pada lansia yang mengalami depresi.
2.       Mengetahui asuhan keperawatan yang dapat diberikan pada lansia yang mengalami gangguan mental khusunya depresi.
























BAB II
KONSEP MEDIK

A.    Pengertian Depresi
Depresi merupakan masalah kesehatan jiwa yang paling sering terjadi pada usia lanjut yang sering tidak cepat terdiagnosis dan diatasi secara adekuat. Kosa kata depresi sering digunakan untuk menjelaskan tentang perasaan seseorang, suatu gejala atau penyakit. Sebagai suatu diagnosis, depresi ditandai dengan adanya perasaan hilang minat terhadap sesuatu hal atau kesenangan, disertai dengan perubahan selera makan dan penurunan berat badan, gangguan tidur dan aktivitas psikomotor, kesulitan dalam berfikir, berkonsentrasi atau membuat keputusan, pikiran berulang tentang kematian atau ide bunuh diri, rencana bunuh diri bahkan percobaan bunuh diri (APA, 1994).
Depresi adalah suatu gangguan jiwa yang dapat diakibatkan oleh berbagai ragam sebab. Depresi tidaklah sama dengan kesedihan, keputus-asaan, atau keremukkan hati. Depresi adalah suatu gejala klinis yang khusus. Kebanyakan depresi adalah normal dalam arti depresi itu berkaitan dengan problema kehidupan. Biasanya kita tidak ditindih oleh depresi-depresi yang tidak meninggalkan akibat yang lama ini. Tetapi adakalanya kita mengalami masa-masa kesedihan yang dalam sampai ke titik di mana kita kehilangan kemampuan untuk mengatasi masalah hidup ini. Dalam konteks seperti ini, keadaan ini disebut depresi klinis, yaitu di mana ditemukan gejala-gejala yang mengganggu fungsi normal kehidupan sehari-hari, termasuk tidur, nafsu makan, ketrampilan bekerja dan hubungan sosial. Gejala-gejala ini memerlukan perawatan.
Depresi dapat merusak kualitas hidup, menuingkatkan resiko bunuh diri, dan menutup diri. Oarang yang menderita depresi tidak dapat mengontrol penyakitnya dan hanya bisa ditolong dengan intervensi profesional kesehatan.
Pengertian yang Salah Tentang Depresi              
  1. Depresi adalah akibat dari dosa. Dosa bukanlah penyebab semata dari depresi, sebagaimana juga tidak semua depresi merupakan akibat dari perbuatan dosa. Kenyataannya dalah banyak orang yang berdosa tetapi tidak mengalami depresi dan banyak orang yang mengalami depresi yang bukan karena perbuatan dosanya. Tetapi adakalanya terjalin hubungan antara penyebab depresi dan dosa. Memisahkan faktor penyebab depresi dan dosa. Memisahkan faktor penyebab dari keadaan depresi itu sendiri sangatlah penting:
    1. Jikalau penyebabnya adalah rasa kehilangan yang wajar, unsur rasa bersalah dapat dan sepatutnyalah dihilangkan dari depresi itu.
    2. Jikalau penyebab depresi itu berkaitan dengan dosa, cara pendekatan konseling yang bersifat rohani haruslah ditujukan kepada penyebabnya itu sendiri, dan bukan depresi itu belaka.
    3. Sangatlah bermanfaat untuk memisahkan rasa sakit (depresi) dari penyakit itu sendiri (penyebab depresi).
    4. Memisahkan penyebab depresi dari depresi itu sendiri akan mempercepat proses penyembuhan, aitu dengan cara memperjelas baik bagi konselor maupun konsele, sifat dasar yang sesungguhnya dari depresi itu. Depresi disebabkan oleh kurangnya iman dalam Tuhan. Pengertian ini berdalih, jika engkau kuat dalam iman dan sangatlah rohani, maka engkau tidaklah akan mengalami depresi atau engkau akan dapat dengan cepat mengalahkan depresi ini. Adakalanya kita dapat menelusuri penyebab dari depresi itu adalah bersumber pada kegagalan kita menerima kondisi-kondisi Tuhan bagi hidup kita. Mungkin juga diakibatkan oleh ketidakmampuan kita menyesuaikan diri dengan dan dalam keadaan dimana Tuhan telah tempatkan kita. Tetapi perlulah diingat bahwa seringkali depresi itu tidaklah berkaitan dengan persoalan iman semata.
  2. Depresi merupakan sikap Tuhan yang berbalik menentan. Depresi bukanlah disebabkan oleh karena Tuhan berbalik menentang.
  3. Penyembuhan dari depresi merupakan suatu hal rohani. Kenyataannya adalah Tuhan tidak pernah bermaksud menyembuhkan semua sakit-penyakit dan semua penderitaan. Jawaban atas pertanyaan, mengapa tidak, adalah rahasia Tuhan sendiri. Depresi mempunyai kecenderungan untuk menambah kepekaan kita akan rasa bersalah dan rasa putus asa. Dengan kata lain, depresi biasanya membuat kita lebih cenderung untuk bertanya, mengapa Tuhan tidak menyembuhkan saya dengan cepat.
B.     Insiden
Berlawanan dengan anggapan umum, data dari berbagai studi epidemiologi terbaru menunjukkan bahwa gangguan depresi dan bahkan gejala depresi prevalensinya lebih kecil pada lansia dibanding pada populasi yang lebih muda( George, 1993)
Angka kejadian lebih tinggi terjadi pada lansia yang dirawat di RS (sebanyak 40% bila semua gangguan depresif dimasukkan). Dalam rumah perawatan  diperkirakan sebanyak 12% sampai 16% menderita depresi mayor dan sebanyak 30% sampai 40% sisanya menderita gangguan depresi (Koenig & Blazer, 1992)
C.    Gejala-gejala Depresi
Frank J.Bruno dalam Bukunya Mengatasi Depresi (1997) mengemukan bahwa ada beberapa tanda dan gejala depresi, yakni:
  1. Perasaan: Secara umum tidak pernah merasa senang dalam hidup ini. Tantangan yang ada, proyek, hobi, atau rekreasi tidak memberikan kesenangan, sedih, tidak bahagia, tangisan (tidak pada semua depresi).
  2. Pikiran: negatif, pesimistik terhadap masa depan, pikiran bersalah, mengecilkan diri, kehilangan minat/perhatian, kehilangan motivasi/keinginan, turunnya ketepatgunaan (efficiency) dan kemampuan berkonsentrasi, pikiran mau membunuh diri cukup umum dalam kasus depresi yang parah (tentu saja, bunuh diri yang sebenarnya, merupakan perilaku merusak diri sendiri secara langsung). Frank menambahkan bahwa tidak ada aturan yang pasti untuk setiap orang. tetapi merupakan konvensi untuk menyatakan bahwa kalau lima atau lebih dari tanda-tanda atau gejala itu ada dan selalu terjadi, maka sangat mungkin seseorang mengalami depresi. Lain halnya jika seseorang mnegalami gejala pada nomor 9, yakni punya keinginan untuk bunuh diri, maka Frank menganjurkan seseorang untuk segera mencari bantuan profesional secepat mungkin. Kapasitas menurun untuk bisa berpikir dengan jernih dan untuk memecahkan masalah secara efektif. Orang yang mengalami depresi merasa kesulitan untuk menfokuskan perhatiannya pada sebuah masalah untuk jangka waktu tertentu. Keluhan umum yang sering terjadi adalah, ?saya tidak bisa berkonsentrasi?.
  3. Perilaku: energi hilang, lambat, adakala tidak dapat diam, penampilan tidak terpelihara. Distorsi dalam perilaku makan. Orang yang mengalami depresi tingkat sedang cenderung untuk makan secara berlebihan, namun berbeda jika kondisinya telah parah seseorang cenderung akan kehilangan gairah makan. Perilaku merusak diri tidak langsung. contohnya: penyalahgunaan alkohol/narkoba, nikotin, dan obat-obat lainnya. makan berlebihan, terutama kalau seseorang mempunyai masalah kesehatan seperti misalnya menjadi gemuk, diabetes, hypoglycemia, atau diabetes, bisa juga diidentifikasi sebagai salah satu jenis perilaku merusak diri sendiri secara tidak langsung.
  4. Jasmani: kehilangan nafsu makan dan nafsu seks, berat tubuh berkurang, kesukaran buang air besar, gangguan tidur. Tergantung pada tiap orang dan berbagai macam faktor penentu, sebagian orang mengalami depresi sulit tidur. Tetapi dilain pihak banyak orang mengalami depresi justru terlalu banyak tidur. Kurang energi. Orang yang mengalami depresi cenderung untuk mengatakan atau merasa,?saya selalu merasah lelah atau saya capai. Ada anggapan bahwa gejala itu disebabkan oleh faktor-faktor emosional, bukan faktor biologis
  5. Kecemasan: rasa takut, cemas, tegang, tidak yakin, dan tidak dapat mengambil keputusan.
  6. Gangguan dalam aktivitas normal seseorang. Seseorang yang mengalami depresi mungkin akan mencoba melakukan lebih dari kemampuannya dalam setiap usaha untuk mengkomunikasikan idenya. ?Ya,kan? saya tidak mengalami depresi?.dilain pihak, seseorang lainnya yang mengalami depresi mungkin akan gampang letih dan lemah.
D.    Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Depresi:
  1.  Kesedihan, yang disebabkan oleh misalnya kurangnya kasih sayang. Kesedihan-kesedihan yang dialami (kemampuan untuk mengatasi masalah sangatlah terbatas), secara psikologis dapat memberi kecenderungan kepada seorang untuk lebih mudah terkena depresi.
  2. Kehilangan orang terdekat. Kehilangan yang kecil dapat menciptakan depresi yang lebih besar dari yang seharusnya.
  3. Kecemasan pada yang ditimbulkan oleh keadaan-keadaan yang mengancam keberadaan dirinya, kepergian anak.
E.     Klasifikasi
Klasifikasi dan diagnosis beragam tergantung jumlah, berat, durasi dan gejalanya. Depresi mayor atau klinis mempunyai gejala yang berat dan durasinya lama. Depresi yang lebih ringan, meskipun tidak dianggap depresi klini, namun tetap mempunyai dampak negative terhadap kualitas hidup.


BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
*     Pengkajian          
Apabila perawat mendeteksi kemungkinan adanya masalah depresi pada pasien lanjut  usia, maka yang perlu dikaji terlebih dahulu adalah gejala deprasi. DSM-IV (1994) tidak membedakan diagnosa depresi berdasarkan usia, tetapi adanya lima gejala atau lebih gejala dibawah ini (ditambah dengan perasaan kehilangan minat atau kehilangan kesenangan), maka pasien telah dapat dikatakan mengalami depresi.
Pengkajian terhadap keperawatan pasien dengan deprasi dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa format seperti Geriatric Depression Scale (akan dibahas oleh penulis lain) atau Hamilton Depression Rating Scale.
Dasar data pengkajian
v  Aktivitas/istirahat
      Gejala                         : Kelemahan,kelelahan
                                       Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari
      Tanda                         : Keletihan, kelemahan umum
v  Integritas ego
      Gejala                         : Perilaku merusak diri langsung dan tidak langsung
                Tanda             : penyalahgunaan alkohol/narkoba, nikotin, dan obat-obat   lainnya, ingin   bunuh diri/mengakhiri hidupnya                     
v  Eliminasi
      Gejala                         : Perubahan pola defekasi/ karakteristik feses
      Tanda                         : Haluaran urine meningkat
                                 Konstipasi                                                     
v  Makanan/cairan
      Gejala                         : Malas makan/anoreksia sekunder
      Tanda                         : Penurunan berat badan
                                Penampilan kurus     
*     Diagnosa
o   Resiko terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan anoreksia sekunder akibat stress emosional.
o   Perubahan pola tidur berhubungan dengan adanya tekanan mental.
o   Kurang perawatan diri berhubungan dengan penurunan minat pada tubuh, ketidakmampuan untuk membuat keputusan, dan perasaan ketidakbergunaan.
o   Ketidakefektifan koping individu yang berhubungan dengan konflik internal (rasa bersalah, harga diri rendah) atau perasaan ditolak.
o   Resiko terhadap membahayakan diri yang berhubungan dengan perasaan keputusasaan dan kesepian.
*     Perencanaan Dan Implementasi
      Tujuan. Tujuan utama mendapatkan nutrisi adekuat, pola tidur yang efektif, Peningkatan rasa percaya diri, dan koping individu yang efektif.
*     Intervensi dan Evaluasi
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan anoreksia sekunder
Intervensi
·         Kaji kemampuan untuk menelan.
·         Berikan makanan dalam jumlah sedikit namun sering.
·         Ajarkan klien untuk mengunyah makanan dengan baik dan makanan dengan perlahan.
·         Anjurkan klien untuk duduk selama dan sesudah makan.
·         Anjurkan cairan dengan makanan.
·         Ukur masukan dan keluaran.
·         Anjurkan masukan cairan sampai 2500 ml/24 jam bila tidak dikontraindikasikan, berikan makanan tinggi serat bila ditoleransi untuk membantu dalam eliminasi.
·         Timbang berat badan klien setiap hari pada waktu, pakaian, dan timbangan yang sama.
Evaluasi
-          Masukan kalori dan cairan optimal
-          Berat badan dipertahankan
Perubahan pola tidur berhubungan dengan adnya tekanan mental
Intervensi
  • Beikan kesempatan untuk beristirahat/tidur sejenak, anjurkan latihan saat siang hari, turunkan aktivitas fisik pada sore hari.
  • Evaluas tingkat stress/oreintasi sesuai perkembangan hari demi hari.
  • Berikan makanan kecil pada sore hari, susu hangat, mandi dan mesase punggung
  • Turunkan jumlah minum pada sore hari, lakukan berkemih sebelum tidur
Evaluasi
-   Mampu menciptakan pola tidur yang adekuat dengan penurunan terhadap pikiran yang melayang-layang (melamun).
-   Tampak atau melaporkan dapat beristirahat yang cukup.
Kurang perawatan diri berhubungan dengan penurunan minat pada tubuh, ketidakmampuan untuk membuat keputusan, dan perasaan ketidakbergunaan.
Intervensi
  • Identifikasi kesulitan dalam berpakaian/perawaan diri, seperti keterbatasan fisik, penurunan kognitif, atur tempratur ruangan (suhu kamar).
  • Identifikasi kebutuhan akan kebersihan diri dan berikan bantuan sesuai dengan perawatan rambut, kuku, kulit, bersihkan kacamata, dan gosok gigi.
  • Bantu untuk menggunakan pakaian yang rapih dan indah.
Evaluasi
-   Mampu melakukan aktivitas perawatan diri, sesuai dengan tingkat kemampuan diri sendiri.

Ketidakefektifan koping individu yang berhubungan dengan konflik internal (rasa bersalah, harga diri rendah) atau perasaan ditolak.
Intervensi
·         Buat hubungan terapeutik perawat/pasien
·         Tingkatkan konsep diri tanpa penilaian moral
·         Biarkan pasien menggambarkan dirinya sendiri
·         Ikut sertakan pasien dalam merencanakan perawatan
·         Bantu dengan membuat jadwal aktivitas kebutuhan perawatan yang  diperlukan
·         Beri bantuan positif bila perlu
Evaluasi
-   Mampu menampilkan keterampilan cara pemecahan masalah yang efektif dalam waktu yang lama.
Resiko terhadap membahayakan diri yang berhubungan dengan perasaan keputusasaan dan kesepian.
Intervensi
·         Bantu pasien dalam mengidentifikasi solusi yang lebih adekuat
·         Sediakan waktu luang untuk mendengarkan  ungkapan perasaan klien
·         Pantau adanya keinginan untuk bunuh diri, misalnya perasaan tidak normal atau cemas saat bersama pasien, peringatan dari pasien seperti, ”tidak apa-apa, saya lebih baik mati”.
Evaluasi
-   Mengakui realita dari situasi
-   Menunjukkan peningkatan pada konsep diri atau rasa percaya diri.
-   Menunjukkan kontrol diri, dengan postur yang santai, perilaku yang tidak membahayakan.





DAFTAR PUSTAKA


Capenito Lynda Juall. 2001. Buku saku Diagnosa Keperawatan edisi 8. EGC. Jakarta
Copel Linda Carman. 2007. Kesehatan jiwa& psikiatri pedoman klinis perawat. EGC. Jakarta.
Sunaryo. 2004. Psikologi untuk keperawatan. EGC. Jakarta